Tahun 2025 sepertinya akan menjadi tahun yang cukup berat bagi masyarakat di Indonesia, karena adanya potensi kenaikan harga barang, jasa, atau iuran wajib.
Di 2025, yang sudah akan naik yakni persentase pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN), dari yang saat ini dikenakan 11%, menjadi 12% di awal 2025. Tak hanya kenaikan PPN, adapula kenaikan-kenaikan lainnya yang bakal memberatkan masyarakat.
Berikut daftar kenaikan yang akan terjadi di 2025.
1. PPN Naik menjadi 12%
Sinyal tarif pajak pertambahan nilai (PPN) akan tetap naik menjadi 12% pada 2025 semakin jelas. Menteri Keuangan Sri Mulyani pada saat konferensi pers Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 Jumat (16/8/2024)membahas kenaikan PPN 12%.
Sri Mulyani menjelaskan hanya sejumlah barang dan jasa yang tidak terkena PPN itu di antaranya berada di sektor barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, hingga transportasi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kenaikan tarif itu telah jelas menjadi amanat Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
“Kan undang undangnya sudah jelas ya. Kecuali ada hal yang terkait dengan Undang-undang, kan tidak ada,” kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Kamis (8/8/2024).
Pemerintah belum memutuskan kenaikan tarif PPN 12% tetapi telah melakukan simulasi penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada awal 2025. Namun, untuk penerapannya masih tergantung keputusan pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Sesuai ketentuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pengenaan tarif PPN 12% itu diamanatkan berlaku mulai 1 Januari 2025. Namun, karena ada permintaan dari sektor usaha, khususnya pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia supaya ditunda, simulasi itu dilakukan untuk melihat dampaknya.
“Kalau dampak potensinya kan gampang hitungnya, naik dari 11% ke 12% itu kan berarti naik 1%, 1 per 11 itu kan katakan 10% total PPN kita realisasi setahun Rp 730-an triliun, berarti kan tambahnya sekitar Rp 70-an triliun,” tegas Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Susiwijono Moegiarso
“Hitung dengan dampak ekonominya kira-kira kalau dengan itu bagaimana, nanti kemampuan bisnis serta sektor industri kita dan sebagainya, tinggal disandingkan,” ungkapnya.
2. Penambahan Objek Cukai, Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK)
Tak hanya kenaikan PPN menjadi 12%, pengenaan cukai atas barang berpotensi bertambah di 2025. Adapun cukai baru yang bakal dikenakan yakni cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Pengenaan cukai ini akan membuat masyarakat harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli minuman manis.
Dalam Buku Nota II Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, rencananya objek MBDK akan dikenakan cukai pada 2025. Kebijakan ekstensifikasi cukai secara terbatas pada (MBDK) dikenakan untuk menjaga kesehatan masyarakat.
Pemerintah mengusulkan target penerimaan cukai sebesar tahun depan sebesar Rp244,2 triliun atau tumbuh 5,9%. Pemerintah juga menargetkan barang kena cukai baru yakni minuman berpemanis dalam kemasan.
Usulan tersebut tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 serta dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2025.
Dalam RUU pasal 4 ayat 6 disebutkan “Pendapatan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dikenakan atas barang kena cukai meliputi:
a. hasil tembakau;
b. minuman yang mengandung etil alkohol;
c. etil alkohol atau etanol;
d. minuman berpemanis dalam kemasan
Munculnya barang kena cukai baru yakni minuman berpemanis dalam kemasan ini di luar dugaan mengingat pemerintah sebelumnya lebih gencar mewacanakan akan mengenakan cukai pada plastik. Ketentuan cukai plastik bahkan sudah dimuat dalam APBN 2024.
“Pemerintah juga berencana untuk mengenakan barang kena cukai baru berupa Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di tahun 2025. Pengenaan cukai terhadap MBDK tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi gula dan/ atau pemanis yang berlebihan, serta untuk mendorong industri untuk mereformulasi produk MBDK yang rendah gula,” tulis RAPBN 2025.
Cukai sebagai instrumen fiskal memiliki fungsi strategis, baik sebagai penghimpun penerimaan negara (revenue collector) maupun sebagai pengendali eksternalitas negatif.
Oleh karena itu, dalam setiap perumusan kebijakan tarif cukai, pemerintah perlu memperhatikan aspek-aspek yang dikenal 4 Pilar Kebijakan yaitu pengendalian konsumsi (aspek kesehatan), optimalisasi penerimaan negara, keberlangsungan industri, dan peredaran rokok ilegal.
Saat ini, pengenaan cukai baru atas terdiri tiga objek pengenaan yakni cukai hasil tembakau (rokok), etil alkohol (etanol), dan minuman yang mengandung etil alkohol.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Nathan Kacaribu mengungkapkan rencana pengenaan cukai tersebut masih harus dibahas pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Iya memang itu (cukai minuman berpemanis) yang akan kita coba bahas nanti dengan DPR, yang lain memang enggak,” ujar Febrio di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, Jumat (16/8/2024).
2. Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Iuran BPJS Kesehatan dikabarkan akan naik pada 2025. Sebagaimana dikatakan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti.
Meski begitu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah belum membahas besaran tarif iuran yang akan naik itu.
“Belum kita bahas antar kementerian terkait,” kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Jumat (9/8/2024).
Sebagaimana diketahui, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memberikan sinyal kenaikan besaran iuran itu hanya untuk kelas I dan II.
Kenaikan tarif iuran itu akan diterapkan menjelang pemberlakuan kelas rawat inap standar (KRIS) mulai 30 Juni 2025, yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024.
“Bisa, (iuran) bisa naik. Dan saat ini sudah waktunya juga naik,” katanya di Krakatau Grand Ballroom TMII, Jakarta Timur, dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (8/8/2024).
Sementara itu, dia memastikan iuran peserta kelas III tidak akan berubah karena peserta tersebut umumnya merupakan Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
“Kalau kelas III gak akan naik. Kelas III itu kan, mohon maaf, umumnya PBI kan kelas 3,” tegasnya.
Sayangnya, Ghufron belum mengungkapkan kapan tepatnya besaran iuran BPJS Kesehatan akan naik. Namun, dia memastikan kebijakan ini bakal diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres).
Dalam kesempatan ini, Ghufron juga menegaskan tarif iuran BPJS Kesehatan tidak akan dibuat single tarif. Artinya, setiap kelas peserta bakal tetap membayar sesuai dengan porsinya.
3. Potensi Kenaikan BBM
Pemerintah berencana memangkas subsidi BBM pada tahun 2025 mendatang. Jika benar demikian, maka masyarakat harus bersiap untuk kenaikan tarif BBM di tahun depan.
Dokumen RAPBN 2025 menyebutkan subsidi energi dialokasikan Rp 204,5 triliun atau naik dari outlook tahun 2024 yang diperkirakan mencapai Rp 192,8 triliun.
Merinci Buku II Nota Keuangan RI 2025, bahwa subsidi energi senilai Rp 204,5 triliun itu diantaranya untuk subsidi BBM dan LPG 3 Kilogram (Kg) mencapai Rp 114 triliun atau naik tipis dari outlook tahun 2024 yang mencapai Rp 112 triliun.
Dokumen tersebut juga menyebut kebijakan transformasi subsidi energi menjadi subsidi berbasis orang/ penerima manfaat akan dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan data, infrastruktur, serta kondisi ekonomi dan sosial masyarakat.
Kalimat tersebut mengisyaratkan jika pemerintah akan melakukan pembatasan pada penikmat subsidi BBM. Artinya, ada sebagian kalangan yang harus membayar lebih mahal untuk membeli BBM tahun depan.
4. Potensi Kenaikan Harga Gas Elpiji
Selain berencana memangkas subsidi BBM, pemerintah juga berencana untuk memangkas subsidi Liquefied Petroleum Gas (LPG) atau gas Elpiji ukuran 3 kg. Bahkan, subsidi tersebut direncanakan akan dialihkan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Dalam RAPBN 2025 disebutkan jika subsidi LPG Tabung 3 Kg hanya mencapai Rp 87,6 triliun atau naik tipis 2,3% dari outlook 2024 sebesar Rp 85,6 triliun. Kenaikan tipis ini mengindikasikan adanya langkah pembatasan penerima.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno mengatakan pemerintah berencana untuk merubah skema pemberian subsidi pada produk gas tabung 3 kg atau gas melon menjadi BLT.
Namun, Ia menyebut rencana ini masih dalam tahap pembahasan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama DPR. Dia menyebut jika selama ini penerima susbidi LPG 3 kg dinikmati 80% masyarakat mampu.
Meski begitu, menurutnya perubahan skema subsidi gas melon ini diperkirakan baru akan diuji coba pada akhir 2025 mendatang. Sehingga jika benar nanti skema pemberian subsidi diganti, langkan ini baru bisa berjalan pada 2026 mendatang.
Sebab nantinya pemberian subsidi LPG 3 kg ini akan mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk memastikan betul siapa penerima yang berhak dan yang tidak. Padahal, saat ini menurut Eddy masih ada yang perlu dibenahi dari DTKS saat ini agar pemberian bantuan lebih tepat sasaran.
“Sekarang kan (pemberian bansos) acuannya adalah DTKS. Makanya kenapa proses ini memakan waktu, karena harus mempersiapkan infrastruktur untuk peng-transferannya. Karena setiap penerima itu harus memiliki rekening bank. Diperhitungkan kurang dari 5% itu tidak memiliki rekening bank karena ada di pelosok sekali, itu bagaimana dengan pemberiannya,” ucapnya.
Tentunya, jika subsidi gas Elpiji 3 kg dialihkan, maka ada potensi kenaikan harga yang cukup tinggi. Komisi VII DPR RI mengungkapkan harga asli atau harga keekonomian dari tabung LPG tersebut.
“Di dalam setiap tabung LPG 3 kg, ada subsidi pemerintah Rp 33 ribu. Jadi kalau harganya sekarang adalah katakan saja Rp 20 ribu deh harganya, artinya kan keekonomiannya Rp 53 ribu kan? Kurang lebih kalau keekonomiannya seperti itu,” ujar Soeparno kepada CNBC Indonesia.
Diperkirakan nilai subsidi LPG 3 kg mengalami pembengkakan beberapa tahun ke depan. Sebab asumsi antara DPR dengan pemerintah menyetujui adanya peningkatan konsumsi LPG di Indonesia pada tahun 2025 mendatang.