
Presiden Prabowo Subianto memerintahkan penghapusan kuota impor, terutama atas komoditass yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Contohnya, kata dia, importasi daging sapi.
Hal itu disampaikan Prabowo dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Jakarta, Selasa (8/4/2025). Prabowo meminta agar importasi dilakukan secara netral. Tidak hanya perusahaan yang itu-itu saja.
Merespons hal ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menegaskan, penghapusan kuota impor bukan perkara sederhana. Menurutnya, semua harus dilihat dari keseimbangan antara kepentingan industri hulu dan hilir.
Lantas, bagaimana sebenarnya urgensi perintah Prabowo itu? Bagaimana dampaknya?
Pengamat Pertanian, Khudori mengatakan, perintah Prabowo itu menegaskan sikap pemerintah yang ingin melindungi produsen dalam negeri tanpa harus menggunakan instrumen kuota. Dalam hal ini, melindungi petani, peternak, pekebun, dan nelayan dari produk impor yang mematikan tanpa menggunakan kuota.
Khudori menampik pendapat yang menyebut perintah Prabowo itu akan membuka keran impor selebar-selebarnya, hingga menyebabkan serbuan produk impor pangan masuk Indonesia. Pendapat itu, ujarnya, tidak tepat. Karena berarti bertolak pada upaya swasembada dan kemandirian pangan Asta Cita.
“Pernyataan Presiden harus dibaca sebagai perintah untuk tetap melindungi produsen dalam negeri tanpa harus menggunakan instrumen kuota. Selain gelombang proteksionisme sejumlah negara ketika ada krisis, perang atau gejolak politik, harga pangan di pasar dunia tidak selalu mencerminkan daya saing. Harga pangan di pasar dunia bersifat distortif, baik karena subsidi, dukungan domestik maupun subsidi ekspor. Ini yang membuat harga pangan di pasar dunia murah,” katanya kepada CNBC Indonesia, Kamis (10/4/2025).
“Argumen bahwa harga pangan domestik mahal, yang kemudian menjadi dalih memuluskan impor, harus dibaca secara hati-hati. Karena di balik dalih itu kehidupan jutaan petani, peternak, pekebun, dan nelayan dipertaruhkan. Perintah Presiden harus dimaknai para pembantunya di kabinet ihwal perlunya mencari instrumen selain kuota untuk melindungi produsen domestik, termasuk memastikan kecukupan pangan,” sambung Khudori.
Sebab, imbuh dia, sistem kuota dalam importasi pangan seringkali tidak transparan, serta jadi ajang favoristime kelompok tertentu dan menganaktirikan kelompok lain. Dia pun mencontohkan importasi bawang putih yang akhir-akhir ini mendapat protes karena ditengarai hanya diberikan ke kelompok tertentu. Importir yang telah berpuluh tahun berbisnis bawang putih tidak mendapat jatah impor selama 2-3 tahun terakhir.
“Dan jangan lupa, rezim kuota juga menyuburkan korupsi. Korupsi berulang di sektor pangan yang telah dihukum mayoritas terjadi karena rezim kuota,” tukasnya.
Khudori membeberkan sederet kasus korupsi importasi pangan yang menyeret para pejabat, termasuk para mantan anggota DPR. Mulai dari kasus impor bawang putih, impor gula, dan impor daging sapi.
“Dari tiga kasus korupsi terkait kuota impor pangan, praktik ini melibatkan tiga pihak: pengusaha sebagai penyuap, birokrat sebagai pemberi izin impor atau kuota, dan politikus yang memperdagangkan pengaruh. Jadi, sebenarnya kasus korupsi dalam impor pangan salah satunya berurat akar dari kebijakan pengendalian impor berbasis rezim kuota,” cetusnya.
Borok Busuk Kuota Impor: Picu Korupsi & Kelangkaan di Pasar
Khudori menjelaskan, pemerintah membagi kuota impor kepada importir sesuai kebutuhan domestik. Nah, rezim kuota impor berpotensi melahirkan masalah hukum, baik dari aspek pidana maupun hukum persaingan usaha.
“Secara pidana, rezim kuota bisa memfasilitasi persekongkolan antara pemberi dan calon penerima kuota. Antara birokrat dan pebisnis. Biasanya dimediasi politikus. Sementara dari sisi hukum persaingan usaha, rezim kuota berpotensi memfasilitasi terjadinya praktik kartel, yaitu persekongkolan antar pelaku usaha dalam menetapkan harga dan mengatur pasokan ke pasar,” papar Khudori.
“Rezim kuota dikendalikan lewat surat persetujuan impor (SPI) yang otoritasnya di Kementerian Perdagangan. Untuk produk tertentu, produk hortikultura seperti bawang putih misalnya, importir mesti mengantongi Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) terlebih dahulu dari kementerian teknis, dalam hal ini Kementerian Pertanian, sebelum mengajukan SPI. Rezim kuota impor (berbasis RIPH dan SPI) itu ibarat barang dagangan yang ada harganya. Harga ditentukan oleh pasar. Ketika pasokan kecil (karena kuota) sedangkan permintaan tinggi, harganya akan tinggi,” terang Khudori.
Akibatnya, ujar dia, untuk bisa mengantongi kuota mesti menebus dengan harga tertentu alias tidak gratis. Dia mengutip hasil temuan Ombudsman RI tahun 2023 ada permintaan fee sebesar Rp4.000-Rp5.000/kg untuk SPI, naik dari fee pada 2020 yang hanya Rp1.500/kg. Secara hukum tentu tidak mudah untuk membuktikan adanya fee ini.
“Pendek kata, penetapan penerima kuota impor yang tidak transparan membuka celah terjadinya korupsi, transaksi gelap, dan hengki pengki. Juga terbuka kuota impor hanya terkonsentrasi pada segelintir grup perusahaan,” ucapnya.
“Ini kemudian membuat struktur pasar komoditas pangan jadi oligopoli, terpusat pada hanya secuil pemain. Karena, dalam banyak kasus, pemegang kuota impor juga mengendalikan pasokan pangan produksi lokal. Ujung-ujungnya, rezim kuota impor berbuah kelangkaan dan persistensi kenaikan harga komoditas pangan di dalam negeri. Produsen dan konsumen sama-sama dirugikan,” kata Khudori.
Solusi Pengganti Kuota Impor
Karena itu, ujarnya, perintah Presiden Prabowo menghapus kuota impor bukan untuk membebaskan impor selebar-lebarnya ke mekanisme pasar. Sebab, kata Khudori, ada solusi yang dapat diterapkan, selain menggunakan kuota impor. Yaitu, sistem yang lebih transparan dan bisa melindungi produsen di dalam negeri.
“Salah satunya adalah tarif impor. Dengan tarif impor pemerintah tetap bisa melindungi produsen pangan domestik dari serbuan pangan impor yang distortif. Tinggal dihitung berapa tingkat tarifnya. Tingkat tarif ini dibuat fleksibel, mengikuti pergerakan harga komoditas pangan di pasar dunia dan nilai tukar rupiah. Dengan tarif semua pelaku usaha punya kesempatan yang sama. Tidak ada lagi favoritisme. Jadi, prinsip keadilan terjadi melalui rezim tarif,” kata Khudori.
“Tarif juga lebih transparan. Tarif juga memungkinkan negara untuk mendapatkan pemasukan baru dari tarif. Bukan mengalir ke para pencoleng seperti dalam rezim kuota. Tarif ini bisa dimanfaatkan untuk, misalnya memberikan insentif kepada produsen pangan domestik yang produk impornya dikenai tarif. Yang tidak kalah penting, rezim tarif juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan yang diatur di WTO, di mana Indonesia menjadi salah satu negara anggotanya,” sebutnya.
Sebagai informasi, Presiden Prabowo Subianto meminta Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Budi Santoso untuk menghilangkan saja kuota impor produk yang bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak. Dia mencontohkan salah satunya impor daging sapi.
“Saya minta ada Mentan, Mendag gak usah lagi ada kuota-kuota, gak ada lagi kuota. Siapa mau impor daging silakan impor. Mau impor apa silahkan buka saja rakyat kita juga pandai kok jangan pakai kuota,” tegas Prabowo.
“Kemudian perusahaan a, b, c yang hanya ditunjuk, yang hanya boleh impor enak saja,” ucapnya.