
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan membutuhkan tambahan anggaran sebesar Rp2,605 triliun untuk melaksanakan program prioritas nasional serta menjalankan tugas dan fungsi lembaga secara lebih optimal.
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan dalam rapat bersama DPR di Jakarta, Rabu, bahwa kebutuhan sekitar Rp838 miliar untuk dukungan sejumlah program prioritas, antara lain melalui pemberian Makanan Bergizi Gratis (MBG),
Program Keluarga Harapan, eliminasi tuberkulosis (TBC), hingga pengelolaan sampah.
Sementara, katanya, sebesar sekitar Rp1,872 triliun untuk melaksanakan tugas dan fungsi BPOM, antara lain pemeriksaan sarana, penyusunan standar, penindakan, uji lab, pengembangan sumber daya manusia, hingga penyusunan regulasi.
Dia juga menambahkan tentang dana alokasi khusus (DAK) non-fisik bantuan operasional kesehatan, yang meliputi pengawasan premarket, post market untuk produk industri rumah tangga (PIRT) sebesar Rp46 miliar, serta pengawasan apotek dan toko obat sekitar Rp 29 miliar.
“Jadi dengan demikian, dari dana alokasi khusus ini juga, Badan POM saya yakin bisa berkontribusi secara nasional, bukan hanya di pusat,” katanya.
Taruna menjelaskan pagu anggaran BPOM 2026 sebesar Rp 2,25 triliun, di mana 78,81 persennya untuk belanja operasional seperti gaji dan tunjangan, dan pemeliharaan kantor.
Sementara 21,19 persen untuk pelaksanaan tugas dan fungsi BPOM serta program prioritas presiden, yakni uji sampel dan pelatihan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Pihaknya menurunkan target pengawasan obat dan makanan pada 2026 sebesar 87 persen untuk menyesuaikan dengan anggaran yang ada.
Dia mencontohkan awalnya target sampel makanan yang diperiksa oleh unit pelaksana teknisnya pada 2025 adalah 18.114, namun turun sebesar 87 persen menjadi 2.399 pada 2026. Selain itu, katanya, penyidikan perkara obat dan makanan yang awalnya 182 menjadi 31 pada 2026.
Taruna pun mengingatkan sejumlah risiko bila anggaran pengawasan obat dan makanan terbatas, mulai dari aspek kesehatan hingga kepercayaan publik.
Risiko-risiko itu antara lain masalah kesehatan, beban pembiayaan yang berat untuk penanganan penyakit, lambatnya pembangunan manusia, meningkatnya peredaran produk ilegal, serta citra Indonesia yang menurun di mata komunitas global karena tidak mampu mengawasi dan menindak secara efektif.