Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyebut bahwa pembentukan lembaga pungut salur iuran perusahaan batu bara melalui Mitra Instansi Pengelola (MIP) penting diwujudkan. Hal itu mengingat MIP sendiri ditujukan untuk menjaga kepastian pasokan batu bara untuk kepentingan domestik.
Deputi Jenderal Sekretaris APBI F. Hary Kristiono mengatakan, pembentukan MIP bisa menjadi titik kompromi di tengah disparitas harga batu bara untuk pasokan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) dan ekspor.
Seperti diketahui, saat ini harga batu bara untuk kepentingan dalam negeri dipatok maksimal US$ 70 per ton. Dengan demikian, ini masih lebih rendah dibandingkan harga ekspor batu bara yang sudah melejit ke atas US$ 100 per ton, di kisaran level US$ 140-150 per ton.
“Kita lihat dari pengusaha, asosiasi itu adalah kepastian hukum atau kepastian regulasi di kita, karena dengan adanya DMO memang benar bahwa akan terjadi disparitas. Kemudian dengan adanya MIP, maka dibentuk MIP itu akan menjadi titik tengah dan lebih efektif, karena pihak yang melakukan DMO akan tetap diuntungkan karena dia akan tetap dibayarkan di harga batu bara,” papar Kristiono kepada CNBC Indonesia dalam program Mining Zone, dikutip Kamis (29/08/2024).
Kristiono menegaskan, pembentukan MIP itu juga dinilai bisa menjadi titik kompromi untuk bisa menjaga ketahanan energi di Indonesia.
“Jadi bayangan saya nih MIP itu perlu karena itu menjadi titik kompromi kita untuk mempertahankan security energy, sekaligus juga bagaimana industri atau pertambangan bisa berkontribusi secara transparan,” jelasnya.
Namun, Kristiono juga menekankan jika MIP nantinya sudah berlaku, dia mewanti-wanti hal tersebut jangan sampai membebani perusahaan batu bara yang nilai produksinya kecil.
“(Perusahaan) tambangnya kecil volumenya kecil akan tidak terbebani dengan iuran dana kompensasi batu bara ini. Jadi MIP ini perlu kita support kira-kira gitu,” tutupnya.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli. Rizal mengatakan, lebih rendahnya harga batu bara untuk dalam negeri yakni US$ 70 per ton untuk sektor kelistrikan dan US$ 90 per ton untuk sektor non kelistrikan, dibandingkan dengan harga ekspor yang di kisaran US$ 140-150 per ton, membuat pembentukan MIP Batu Bara ini menjadi penting untuk segera direalisasikan.
“MIP ini bisa membantu pengusaha-pengusaha batu bara yang memang fokus mensuplai dalam negeri,” jelas Rizal kepada CNBC Indonesia dalam kesempatan yang sama.
Dia menyebutkan, batu bara jenis thermal coal yakni batu bara untuk menghidupkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dan memasok kebutuhan industri masih diperlukan dalam negeri, dibandingkan dengan batu bara dengan jenis coking coal.
Dengan demikian, kewajiban DMO batu bara tetap harus dilaksanakan.
“Nah tetapi yang thermal coal itu masih sangat kita butuhkan untuk menghidupkan PLTU kita baik kelistrikan maupun non-kelistrikan seperti semen, pupuk, kemudian tekstil nah ini masih sangat kita perlukan,” ujarnya.
Dengan begitu, Rizal menilai pembentukan MIP masih sangat diperlukan, terutama untuk aspek keadilan bagi perusahaan batu bara yang penjualannya lebih banyak untuk memasok kebutuhan batu bara dalam negeri.
“Nah sehingga MIP ini juga masih diperlukan. Tapi bagaimana pemerintah bisa melakukan koordinasi dengan baik dan cepat serta efisien sehingga MIP ini bisa segera diberlakukan,” tandasnya.