Pekerja informal melonjak pasca pandemi Covid-19. Kenaikan ini memicu kekhawatiran karena pekerja informal tidak memiliki pekerjaan tetap dan tanpa jaminan perlindungan dan sulit mendapatkan akses keuangan.
Kenaikan jumlah pekerja informal ini justru terjadi menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2024 menunjukkan bahwa dari 142,18 juta orang yang bekerja, sebanyak 59,17% penduduk yang bekerja di kegiatan informal (84,13 juta orang). Persentase ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kondisi Februari 2023, namun mengalami kenaikan jika dibanding Agustus 2023.
Sedangkan persentase penduduk yang bekerja di kegiatan formal pada Februari 2024 sebesar 40,83%, mengalami kenaikan jika dibanding Februari 2023 (39,88%), namun mengalami penurunan jika dibanding Agustus 2023 (40,89%).
Sementara jika ditarik lebih jauh, persentase orang yang bekerja di sektor informal mengalami kenaikan 3,29 poin persentase (dari Agustus 2019 hingga Februari 2024). Perbedaan sangat jauh di era sebelum dan pasca Covid-19.
Badan Pusat Statistik (BPS) membagi pekerjaan informal ke dalam dua hal, yakni usaha sendiri informal dan pekerjaan upahan informal.
Pekerjaan upahan informal mencakup karyawan tanpa kontrak resmi, jaminan pekerja atau perlindungan sosial yang dipekerjakan di usaha formal atau informal. Sedangkan yang termasuk usaha sendiri informal adalah pengusaha pada sektor informal, berusaha sendiri pada usaha informal, pekerja keluarga tidak dibayar, dan anggota koperasi produksi informal (Chen, 2006 seperti dikutip dalam Maligalig, dkk, 2008).
Pembedaan ini menyarankan agar pekerja informal dibagi dalam seluruh kategori status pekerja: pengusaha, buruh, berusaha sendiri, pekerja keluarga/pekerja tidak dibayar, dan anggota koperasi produksi.
Banyaknya pekerja informal menunjukkan banyaknya angkatan kerja yang tidak bisa diserap oleh lapangan kerja. Pekerja informal ini menjadi rentan karena mereka tidak memiliki besaran penghasilan yang pasti, banyak yang tidak dilindungi oleh asuransi, dan akan kesulitan mencari akses keuangan untuk modal ataupun mengajukan kredit lainnya.
Ekonom BCA Barra Kukuh Mamia menjelaskan turunnya pengangguran Indonesia saat ini banyak ditopang oleh lapangan kerja informal. Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan di pabrik banting setir mencari pekerjaan menjadi supir taksi/ojek online atau di e-commerce.
“Mungkin sekarang ojol atau e-commerce segala macam ini which is fine orang bisa dapat duit di situ tapi prospek nya kan beda antara yang formal dan informal. Kalau formal bisa naik gaji, naik karir, tapi kalau informal gimana?” tutur Barra, kepada CNBC Indonesia.
Kekhawatiran ini pun sempat disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) soal tren gig economy, sistem ekonomi yang mengutamakan pekerjaan sementara dan kontrak jangka pendek untuk menjalankan sesuatu.
Menurut Jokowi, sistem ekonomi serabutan ini harus diperhatikan. Sebab bila tidak dikelola dengan baik, sistem gig economy bisa menjadi masalah di tengah para pekerja di Indonesia.
Dia khawatir sistem ini justru membuat perusahaan nyaman menggunakan pekerja serabutan dan memberikan kontrak jangka pendek untuk mengurangi risiko ketidakpastian ekonomi. Jika sudah demikian, kesejahteraan pekerja dalam jangka panjang tidak diperhatikan.
Pekerja Informal Dalam Bahaya
Mandiri Institute dalam laporannya yang berjudul Consumer Spending Perkembangan Belanja Masyarakat Terkini untuk pekerja informal menunjukkan bahwa 40,2% atau kurang lebih 33,23 juta orang mencatatkan penurunan jumlah penghasilan untuk periode 2019 hingga 2023. Sementara 49,43 juta orang mencatatkan kenaikan jumlah penghasilan dalam periode yang sama.
Sektor yang mengalami penurunan jumlah penghasilan yaitu Transportasi dan Pergudangan, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, Jasa Pendidikan, Real Estate, dan Pengadaan Listrik dan Gas.
Bahkan sektor Pengadaan Listrik dan Gas merupakan bidang yang memiliki Compound annual growth rate/CAGR rata-rata penurunan penghasilan paling dalam yakni lebih dari 10%
Sedangkan untuk sektor Pertambangan dan Penggalian, Konstruksi, Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Daur Ulang, Jasa Keuangan dan Asuransi, Industri Pengolahan, Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Daur Ulang, Informasi dan Komunikasi, hingga Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor, tergolong memiliki CAGR rata-rata kenaikan dalam penghasilan.