Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat memiliki prospek yang kurang cerah, imbas dari sentimen negatif pelaku pasar keuangan terhadap kembali terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada perdagangan hingga pukul 11.54 WIB pun masih bertengger di level Rp 15.680/US$ berdasarkan data Refinitiv. Melemah sekitar 0,41% dari level pembukaan perdagangan Rp 15.615/US$.
Division Head Treasury Business PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), Itang Rusdinar mengatakan, kembalinya Trump ke takhta tertinggi pemerintahan AS memang memberikan sentimen negatif bagi pelaku pasar keuangan.
“Kemenangan Trump yang menjadi sumber ekonomi dunia, yang akan mempengaruhi ekonomi Indonesia, bagi market khawatirnya akan cenderung risk off,” ucap Itang dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Senin (11/11/2024).
Di bawah pemerintahan Trump, para pelaku pasar keuangan kata dia menganggap, AS berpotensi mempertahankan suku bunga acuan bank sentral yang tinggi, untuk memperkuat pasar domestiknya. Hal ini akan menekan tren penurunan suku bunga Fed Fund Rate ke depan.
Sebagaimana diketahui, suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve itu kini bertengger di level 4,50-4,75% Pada November 2024, setelah dewan gubernur The Fed kembali memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis points (bps), melanjutkan kebijakan penurunan pada September 50 bps.
“Tentu kembali itu akan mungkin pricing in tidak terlalu agresif lagi penurunan suku bunga. Penurunan suku bunga pasti ada tapi kelihatannya tidak seagresif prediksi dari adanya perubahan kebijakan di AS,” kata Itang.
Berdasarkan prediksi berbagai ekonom, Itang pun mengatakan bahwa pada tahun depan, kurs rupiah terhadap dolar AS akan berada pada kisaran Rp 15.300-Rp 15.800/US$.
Untuk mengantisipasi gejolak kurs, Itang mengatakan, para pemegang dolar sebaiknya sudah mulai melakukan hedging kurs atau lindung nilai mata uang untuk memitigasi potensi volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ke depan.
“Hedging banyak instrumennya, ada yang bersifat fix ataupun juga sekarang kita perbankan juga industri dorong melalukan hedging dengan DNDF. Saya kira itu instrumen yang secara risiko lebih rendah karena bersifat netting tapi itu market risknya relatif ter-lock,” ucap Itang.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo telah buka suara ihwal dampak kembali terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat terhadap aktivitas ekonomi global maupun Indonesia.
Bagi Sri Mulyani, kembalinya Trump ke pucuk pimpinan tertinggi di Negeri Paman Sam bukanlah kabar yang baik. Ia bahkan mengatakan, peristiwa kemenangan Trump saja sebagai Presiden AS pada Pilpres 2024 yang digelar 5 November 2024 menghambat sentimen positif di dalam negeri.
“Dari pasar keuangan ada perkembangan tapi kita lihat pergerakan dengan terpilihnya Trump memberikan sentimen yang cukup kuat pada minggu ini,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, dikutip Senin (11/11/2024).
Dari sisi kurs rupiah, ia mengatakan, sebetulnya sempat mengalami penguatan beberapa saat terakhir, namun karena berita Trump terpilih sebagai Presiden AS, kini malah mengalami depresiasi.
“Dan sekarang dengan terpilihnya Trump dolar indeks menguat, sehingga rupiah kita dalam minggu ini cenderung tertekan,” ungkap Sri Mulyani.
Perry juga memiliki pandangan yang tak jauh berbeda dengan Sri Mulyani. Ia mengatakan sudah mengkalkulasi berbagai kemungkinan dampak dari hasil Pilpres AS 2024 yang dimenangkan oleh Donald Trump terhadap Kamala Harris. Trump merupakan mantan Presiden AS ke 45 dengan periode jabatan 2017-2021.
Perry mengatakan, potensi ekonomi yang bisa terjadi ketika Trump kembali menjadi Presiden AS di antaranya penguatan mata uang dolar AS yang akan terus terjadi ke depan, seiring dengan kembali munculnya tren penguatan suku bunga acuan bank sentral AS, Fed Fund Rate.
“Mata uang dolar akan kuat, suku bunga AS akan tetap tinggi, dan tentu saja perang dagang juga masih berlanjut,” ungkap Perry.
Ia mengatakan, berbagai permasalahan itu tentu akan memberikan dampak langsung terhadap perekonomian negara-negara ekonomi berkembang, seperti Indonesia. Menurutnya, nilai tukar rupiah berpotensi melemah ke depan, dan aliran modal asing akan semakin seret.
“Dinamika ini yang akan berdampak ke seluruh negara khususnya emerging market, termasuk Indonesia, yaitu satu, tekanan-tekanan terhadap nilai tukar, kedua, arus modal, dan ketiga, bagaimana ini berpengaruh kepada dinamika ketidakpastian di pasar keuangan,” tuturnya.