
Selasa (2/9) malam, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk tetap melawat ke China, demi memenuhi undangan Presiden Xi Jinping menghadiri Parade Militer Angkatan Bersenjata China di Beijing pada Rabu (3/9).
Di tengah gejolak demonstrasi di Tanah Air yang mulai mereda dan terkendali, keputusan kepala negara untuk hadir dalam peringatan berakhirnya Perang Dunia II itu, tak lepas dari permintaan mendesak pemerintah China.
Diakui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi bahwa dalam beberapa hari terakhir, pemerintah China menyampaikan permintaan yang cukup kuat kepada Presiden Prabowo agar berkenan hadir, paling tidak untuk satu hari saja.
Selain itu, undangan menghadiri parade militer tersebut penting bagi Indonesia untuk menyaksikan secara langsung perkembangan kekuatan militer China, sekaligus menunjukkan komitmen dalam menjaga hubungan bilateral dan menegaskan posisi diplomatik Indonesia di kancah global.
Presiden Prabowo pun tampil dengan “diplomasi peci hitam” berbalut setelan jas abu-abu yang dahulu dipelopori oleh Soekarno, saat bertemu dengan para tokoh dunia di masa lalu.
Penampilan itu menjadi ciri khas keberadaan kepala negara yang bersanding di antara 26 pemimpin berpengaruh di jantung Kota Beijing, Lapangan Tiananmen, di antaranya Presiden Rusia Vladimir Putin, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, Presiden Iran Masoud Pezeshkian, Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif, Presiden Mongolia Khurelsukh Ukhnaa, hingga Presiden Belarus Alexander Lukashenko.
Dari kawasan Eropa, dua pemimpin yang hadir adalah Perdana Menteri Slovakia Robert Fico dan Presiden Serbia Aleksandar Vucic. Keduanya menarik perhatian karena dikenal memiliki hubungan erat dengan Rusia.
Selain menjadi ajang unjuk kekuatan militer China, parade ini juga dimanfaatkan sebagai momentum diplomasi, termasuk bagi Prabowo Subianto yang baru memulai masa jabatannya sebagai Presiden RI.
Dalam forum bergengsi seperti ini, Indonesia sebagai negara dengan kekuatan militer di peringkat 13 dunia (versi Global Firepower/GFP-2025) dan yang terkuat di Asia Tenggara, patut menjadi sorotan.
Jumlah personel, modernisasi alutsista, strategi pertahanan berbasis teknologi, hingga kapasitas produksi dalam negeri yang digagas pemerintahan, menjadi faktor utama yang membuat militer Indonesia berhasil melampaui capaian Vietnam di peringkat 23 dan Thailand peringkat 25.
Singapura berada di urutan ke 29 dunia, mengandalkan infrastruktur canggih dan sistem pertahanan modern. Myanmar di 37 dunia, Filipina peringkat 41, dan Malaysia di 42 dunia. Sementara itu, Kamboja dan Laos berada di peringkat bawah, dengan postur militer yang relatif kecil.
Secara keseluruhan, GFP memasukan tujuh negara dalam peta kekuatan militer di ASEAN yang kini berada di 50 besar dunia.