Indonesia berjibaku dengan krisis listrik pada awal 2022. Pengalaman pahit tersebut menegaskan jika ketahanan energi harus dipikul bersama dan menjadi tanggung jawab semua kalangan.
Dunia terhenyak saat Indonesia secara tiba-tiba melarang ekspor batu bara pada 1 Januari 2022. Keputusan tersebut langsung membuat pasar batu bara dunia kalang kabut mengingat Indonesia adalah eksportir batu bara thermal terbesar di dunia. Tak tanggung-tanggung, harga batu bara melesat 6,37% pada 4 Januari 2022 dan terbang 11,4% sehari pada 6 Januari 2024.
Sejumlah negara langsung melayangkan protes ke Indonesia seperti Jepang, India, hingga Korea Selatan karena nasib kelangsungan energi mereka terancam.
Dunia meminta penjelasan kepada Indonesia mengenai apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana Indonesia akan mengakhiri kisruh batu bara dalam negeri dan dunia.
Indonesia adalah eksportir terbesar untuk batu thermal di dunia sehingga perannya sangat strategis di pasar global. Sebagai catatan, batu bara thermal dipakai sebagai sumber energi di pembangkit.
Larangan ekspor batu bara pada 2022 berawal dari krisis pasokan batu bara ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Larangan baru dicabut pada 31 Januari 2024. Pasokan batu bara di 20 pembangkit listrik berdaya 10.850 Mega Watt (MW) terancam padam dan sebanyak 10 juta pelanggan PLN bisa mengalami gelap gulita.
PLN membutuhkan 20 juta ton batu bara untuk membuat ketersediaan batu bara di pembangkit listrik dalam kondisi aman dengan minimal 20 hari operasi pada Januari 2022.
Indonesia pun terancam gelap gulita karena pasokan batu bara yang menipis. Fakta ini tak hanya mengagetkan tetapi juga memprihatinkan. Pasalnya, perusahaan batu bara dalam negeri memiliki kewajiban bernama domestic market obligation (DMO) yang mengikat yakni sebesar 25% dari produksinya.
Namun, kewajiban itu urung dilaksanakan oleh perusahaan batu bara. Catatan Kementerian ESDM menunjukkan pada Januari 2022 kewajiban DMO yang seharusnya mencapai 5,1 juta ton, hanya terpenuhi 35 ribu ton saja atau kurang dari 1%.
Dari ribuan pembangkit listrik yang aktif, sekitar 60% merupakan pembangkit listrik bertenaga batu bara, sehingga ketika supply batu bara terganggu, maka akan berdampak pada supply listrik, dan pada akhirnya menghambat laju perekonomian.
Batu bara juga menjadi sumber energi utama bagi Indonesia dan porsinya terus meningkat.
Menyusul menipisnya pasokan batu bara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 3 Januari 2024 juga memberi peringatan keras kepada pengusaha.
“Sudah ada mekanisme DMO yang mewajibkan perusahaan tambang untuk memenuhi pembangkit PLN. Ini mutlak, jangan sama sekali dilanggar untuk alasan apapun. Perusahaan yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, bisa diberikan sanksi. Bila perlu bukan cuma tidak mendapatkan izin ekspor, tapi juga pencabutan izin usahanya,” papar Jokowi.
Jokowi mengingatkan krisis pasokan batu bara tidak boleh terulang. Terlebih, kebutuhan batu bara untuk listrik diperkirakan masih akan meningkat meskipun ada upaya menggalakkan penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
“Ini adalah amanat dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” jelasnya.
Krisis Energi Tak Hanya di Indonesia
Krisis energi yang dipicu menipisnya pasokan batu bara juga terjadi sejumlah penjuru dunia dengan efek yang sangat masif. China hingga India bahkan negara maju seperti Jerman harus menelan pil pahit tersebut.
Krisis energi mengguncang China pada Agustus hingga akhir 2021 sampai mempengaruhi 20 provinsi. Aktivitas industri dikurangi, dan bahkan rumah tangga mengalami pemadaman listrik berkepanjangan di beberapa daerah.
Krisis listrik terjadi karena pasokan batu bara menipis di tengah lonjakan permintaan energi serta pembatasan produksi batu bara.
India juga harus mengalami krisis energi pada Oktober 2021 setelah pasokan batu bara pada level kritis.
Pada Oktober 2021, India berada di ambang krisis energi ketika stok di lebih dari setengah dari 135 pembangkit listrik tenaga batu bara di negara itu berada pada level yang sangat rendah, yaitu di bawah 25% dari tingkat normal. Pembangkit listrik tenaga batu bara India memiliki persediaan kurang dari delapan hari, lebih dari setengahnya memiliki persediaan senilai dua hari atau kurang.
India kemudian menggencarkan impor dan mewajibkan pembangkit listrik mengimpor batu bara untuk berjaga-jaga.
Pada 2022, Jerman kembali berpaling ke batu bara setelah perang Rusia-Ukraina melambungkan harga gas. Lebih dari sepertiga (36,3%) dari listrik yang disuplai ke jaringan listrik Jerman antara Juli dan September 2022 berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara, dibandingkan dengan 31,9% pada kuartal III- 2021.
Batu bara, yang lama dikritik oleh Partai Hijau Jerman yang memimpin beberapa kementerian utama pemerintah, direncanakan akan dihapuskan pada tahun 2030. Namun, perang Rusia dengan Ukraina dan pembatasan ekspor gas membuat batu bara kembali populer.
Kewajiban DMO Demi Ketahanan Energi
Pemerintah sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No.255.K/30/MEM/2020 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri 2021 telah menetapkan aturan penjualan batu bara untuk kepentingan dalam negeri atau pada 2021 minimal sebesar 25% dari produksi per produsen dengan harga untuk pembangkit listrik maksimal (HBA) adalah US$ 70 per ton.
Namun, pengalaman pahit 2022 membuktikan aturan pemerintah kerap diabaikan. Padahal, kebijakan DMO tidak bisa ditawar dan harus dipenuhi oleh para pelaku usaha tambang.
Pengalaman 2022 juga membuat pemerintah berbenah dan mengembangkan rencana baru yakni pelaksanaan pungutan iuran batu bara perusahaan tambang melalui Mitra Instansi Pengelola (MIP). MIP dibutuhkan untuk mengatasi masalah disparitas harga batu bara di pasar internasional dengan harga DMO.
Terlebih, harga batu bara ekspor kerap lebih menarik dari harga DMO yakni US$ 70 per ton.
Sebagai perbandingan, merujuk Refinitiv, rata-rata harga batu bara pada 2022 mencapai US$ 345,41 per ton sementara pada 2023 menembus US$ 172,05 per ton dan 2024 ada di angka US$ 134,03 per ton.
Selisih harga yang sangat tinggi inilah yang membuat perusahaan tambang lebih kerap memilih ekspor dibanding DMO.
“Pasca pengalaman kita di awal 2022, kita agak babak belur nih, pembangkit-pembangkit ini terkait dengan pasokannya gitu. Jadi kuncinya adalah bagaimana kemudian pasokan batu bara untuk kepentingan domestik, khususnya untuk kelistrikan umum itu bisa aman,” ujar Asisten Deputi Pertambangan Kemenko Marves, Tubagus Nugraha dalam program Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Rabu (14/8/2024).
Data Laporan Tahunan sejumlah perusahaan menunjukkan proporsi DMO sangat beragam. CNBC Indonesia melakukan penelusuran mengenai realisasi DMO terhadap empat perusahaan besar yakni PT Bukit Asam (PTBA), PT Kideco Jaya Agung, Berau Coal Energy, dan PT Bumi Resources Tbk. PTBA merupakan perusahaan yang paling banyak menyetor DMO ke PLN dengan total hampir 50%.