Cukai minuman berpemanis akan segera diterapkan pada 2025 mendatang. Hal ini sebagai langkah mengendalikan konsumsi gula, sekaligus menekan penyakit akibat kelebihan gula.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tahun depan. Rencana tersebut tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Dalam dokumen RAPBN 2025 pemerintah mengusulkan target penerimaan cukai sebesar Rp 244,2 triliun atau tumbuh 5,9%. Penerimaan itu akan bersumber salah satunya dari barang kena cukai baru, yakni MBDK.
Dokumen tersebut menyatakan pendapatan cukai dikenakan atas barang meliputi hasil tembakau; minuman yang mengandung etil alkohol; etil alkohol atau etanol; dan minuman berpemanis dalam kemasan.
Munculnya barang kena cukai baru yakni minuman berpemanis dalam kemasan ini di luar dugaan mengingat pemerintah sebelumnya lebih gencar mewacanakan akan mengenakan cukai pada plastik. Ketentuan cukai plastik bahkan sudah dimuat dalam APBN 2024.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu juga mengatakan mengatakan penerapan cukai dilakukan untuk mengendalikan konsumsi gula masyarakat. Menurut dia, hal tersebut penting mengingat dampak konsumsi gula pada kesehatan.
“Jadi kita ingin prioritas tentang kesehatan terkait dengan konsumsi gula,” kata Febrio dikutip Senin, (19/8/2024).
Meski begitu, Febrio juga menerangkan bahwa pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis pada tahun depan akan diterapkan secara konservatif.
“Kita mulai dengan sangat konservatif,” kata Febrio ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, (27/8/2024).
Febrio mengatakan konservatif yang dia maksud bisa merujuk pada tarif yang akan diterapkan. Selain itu, kata dia, penerapan terbatas itu bisa juga merujuk pada jumlah barang yang dikenakan. “Atau bisa kombinasi dari itu,” katanya.
Dalam perspektif kesehatan, pengenaan cukai terhadap minuman manis memang cukup penting urgensinya. Salah satu penyakit akibat kelebihan gula yakni Diabetes menjadi salah satu penyakit yang paling mematikan di RI.
Menurut Data dari Institute for Health Metrics and Evaluation menyebutkan Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia pada 2019 yaitu sekitar 57,42 kematian per 100.000 penduduk.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 juga menunjukkan prevalensi Diabetes mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013, dari 6,9% menjadi 8,5%.
Prevalensi yang terus meningkat semakin dicerminkan dengan posisi jumlah penderita diabetes tipe 1 di RI yang mencapai 41.817 orang pada 2022. Jumlah ini membuat Indonesia berada di posisi teratas dibandingkan negara-negara anggota ASEAN.
Mayoritas penderita diabetes tipe 1 di Indonesia berusia antara 20-59 tahun, sebanyak 26.781 orang. Sisanya, penderita berusia di bawah 20 tahun sebanyak 13.311 orang dan penderita berusia 60 tahun ke atas sebanyak 1.721 orang.
Dengan begitu banyak orang yang sakit diabetes di RI, mirisnya konsumsi gula malah terus meningkat, bahkan mencetak rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Melansir data dari National Sugar Summit (NSS) yang diselenggarakan pada 13 Desember 2023 lalu, menunjukkan data konsumsi gula pada akhir tahun lalu mencapai 3,4 juta ton. Angak ini merupakan yang tertinggi sejak 10 tahun yang lalu atau pada 2013 sebesar 2,61 juta ton.
Riskesdas Indonesia 2018 juga mendapati tingkat konsumsi makanan dan minuman manis masih sangat tinggi, masing-masing mencapai 87,9% dan 91,49%. Padahal, anjuran konsumsi gula per hari menurut Permenkes Nomor 30 Tahun 2013 hanya per hari adalah 10% dari total energi (200kkal) per orang.
Konsumsi tersebut setara dengan gula 4 sendok makan per orang per hari atau 50 gram per orang per hari. Pada dasarnya konsumsi gula tidak dilarang, hanya saja tidak boleh berlebihan.
Konsumsi harian makanan dan minuman manis serta konsumsi gula harian yang berlebih dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan termasuk meningkatkan risiko penyakit diabetes melitus.