Semangat Digitalisasi Makin Menyala, Bankir Ungkap Manfaat AI

ATM Bank BCA. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: ATM Bank BCA. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Semangat digitalisasi di industri keuangan semakin menyala, tak terlepas industri perbankan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah meluncurkan pedoman resiliensi digital atau digital resilience guideline, untuk melengkapi rangkaian kebijakan akselerasi transformasi digital perbankan.

Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, digitalisasi memberikan manfaat untuk meningkatkan efisiensi di berbagai aspek. Namun demikian, digitalisasi turut menghadirkan sejumlah tantangan dan risiko bagi perbankan yang perlu diantisipasi dan dimitigasi.

Dian memaparkan survei McKinsey & Company pada tahun 2023, pada industri jasa keuangan, pemanfaatan AI tersebar pada fungsi layanan, pemantuan resiko, dan fungsi pengembangan produk. Lebih lanjut, pemanfaatan generative AI pada industri perbankan di proyeksi memberikan kenaikan pendapatan sekitar 2,8% hingga 4,7%. Ini lebih tinggi ketimbang industri lainnya seperti farmasi, pendidikan, dan telekomunikasi.

“Jadi memang kalau kita lihat bagaimana IT ini bisa meningkatkan efisiensi dalam kegiatan perbankan itu sudah jelas. Jadi kalau kita lihat misalnya biaya yang sekarang pasti sangat mahal, tentu dengan menggunakan teknologi itu bisa dijadiin lebih murah,” kata Dian saat peluncuran panduan tersebut di Four Season Hotel, Selasa (20/8/2024)

Di sisi lain, ia tidak memungkiri adanya mudarat dari keberadaan emerging technology ini. Tetapi, Dian menilai, hal itu biasa dan yang terpenting adalah bagaimana industri dapat melakukan pengamanan pada sistem informasi dan teknologi (IT).

“Nggak mungkin lagi kita menghindari penggunaan IT, digitalisasi adalah satu proses yang memang seharusnya dilakukan sekarang. Apalagi untuk lembaga intermediasi seperti perbankan yang memberikan banyak pelayanan kepada public. Saya kira memang perbaikan pelayanan melalui perbaikan IT dan juga at the same time juga inisiasi perbankan semakin meningkat karena penggunaan IT,” terangnya.

Selain itu, Dian mengakui adanya dampak perang IT antar perbankan. Namun, ia meyakini masing-masing bank memiliki pasar “niche” sendiri.

“Bank itu kan ada yang sangat, misalnya heavy kepada corporate financing ada juga yang heavy kepada UMKM. Jadi pasar itu pasti akan menemukan dirinya sendiri masing-masing bank itu akan bisa menemukan niche market,” pungkasnya.

Dalam peluncuran panduan tersebut, OJK turut mengundang perwakilan dari bank mulai dari himpunan bank milik negara hingga bank pembangunan daerah (BPD), serta berbagai asosiasi perbankan. Seperti Kartika Wirjoatmodjo selaku Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Hery Gunardi selaku Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Ketua Umum Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Yuddy Renaldi, serta bankir-bankir lainnya yang memadati acara itu.

Lantas, bagaimana implementasi digitalisasi dan teknologi baru perbankan RI?

Yuddy mengungkapkan kemampuan bank pembangunan daerah (BPD) dalam digitalisasi beragam. Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJBR) atau BJB itu menyebut ukuran bank menjadi penentu kapasitas digitalisasi BPD.

“Kalau BPD kan beragam ya, tapi kita mengarah kepada digitalisasi yang bisa mengamankan seluruh industri perbankan. Tentunya antar BJB dengan yang lain berbeda-beda ya, tergantung size,” ujar Yuddy secara terpisah di peluncuran panduan tersebut.

Menurutnya, BPD memiliki semangat untuk selalu menjaga digitalisasi terutama di keamanan IT. Sebagai salah satu BPD terbesar di RI, BJB berupaya menyebarkan penerapan keamanan IT kepada BPD lainnya, seperti Bank Bengkulu.

“Ada beberapa BPD seperti BJB, Bank Jatim, Bank Jateng, itu kan tiga besar BPD yang ada di Indonesia ya, tentu kompleksitas ini kalau dibanding dengan BPD yang lain, tentu tidak sekompleks yang kita rasakan. Apalagi untuk BJB, sudah ada konglomerasi keuangan. Jadi kami juga harus menularkan dari sisi IT security-nya juga harus kita amankan, kita membantu mereka juga seperti Bank Bengkulu lalu beberapa BPD lain,” jelas Yuddy.

Ia menyampaikan bahwa beberapa BPD pun sudah mulai mengembangkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Di antaranya BJB, Bank Jatim, dan Bank Jateng, yang disebut sebagai BPD beser yang sudah membutuhkan bantuan AI sebagai sarana.

Sementara itu, Hery yang merupakan Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS), mengatakan proses digitalisasi terikat dengan AI, dan harus segera dikembangkan oleh perbankan.

Ia menyebut risiko harus memperkuat proses model bisnis perbankan. Dalam hal ini, teknologi perangkat keras dan halus berperan, serta AI.

“Risiko itu lebih memperkuat bisnis proses bisnis model, kalau teknologi itu hardware software harus dilakukan pengkinian gitu. Tapi ini lebih ke AI. Resiliensi bank terhadap tantangan teknologi ke depan terutama terkait dengan penetrasi bank ke sistem,” ujar Hery secara terpisah.

Di BSI sendiri, ia mengatakan AI berperan dalam membaca data nasabah agar lebih cepat, untuk cross selling.

Bank swasta milik Grup Lippo PT Bank Nationalnobu Tbk. (NOBU) tengah berupaya menggunakan AI secara end-to-end alias penggunaan sistem dari ujung ke ujung. Direktur Utama NOBU Suhaimin Djohan mengatakan pihaknya mau memetakan penggunaan AI di bank tersebut.

“Kami coba melihat bagian-bagian mana saja yang di dalam bank yang relevan dengan AI ini. Memang kami ini benar-benar sekarang inginnya end-to-tend, dari mulai buka rekening sampai ke back end SOP (standard operational procedure)-nya, kami mau petakan menjadi satu roadmap AI,” ujarnya secara terpisah di kesempatan yang sama.

Suhaimin mencontohkan chatbot, yang sangat mendasar dan dapat dikembangkan secara cepat. Bank Nobu pun berupaya menyertakan chatbot ke dalam aplikasi mobile banking NOBU, serta layanan-layanan untuk nasabah lainnya.

kas138

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*